Diberdayakan oleh Blogger.

TopMenu

Like Us On Facebook

Tampilkan postingan dengan label abu nawas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label abu nawas. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Februari 2014

Kisah Abu nawas : Ayam Dan Telur

Melihat ayam betinanya bertelur, Baginda Harun al Rasyid tersenyum. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas.

Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.

Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya,

“Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?” “Telur.” jawab peserta pertama.

“Apa alasannya?” tanya Baginda.

“Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.” kata peserta pertama menjelaskan.

“Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?” sanggah Baginda.

Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. la tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara

Kemudian peserta kedua maju. la berkata,

“Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan.”

“Bagaimana bisa bersamaan?” tanya Baginda.

“Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami.” kata peserta kedua dengan mantap.

“Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?” sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.

Lalu giliran peserta ketiga. la berkata;

“Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur.”

“Sebutkan alasanmu.” kata Baginda.

“Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina.” kata peserta ketiga meyakinkan.

“Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada.” kata Baginda memancing.

“Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri.” peserta ketiga berusaha menjelaskan.

“Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?”

Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun dimasukkan ke penjara.

Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, “Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam.”

“Coba terangkan secara logis.” kata Baginda ingin tahu “Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam.” kata Abu Nawas singkat.

Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah

Sumber.,

Sabtu, 08 Februari 2014

Kisah Abu Nawas : Baginda Menjadi Budak

Kadangkala untuk menunjukkan sesuatu kepada
sang Raja, Abu Nawas tidak bisa hanya sekedar
melaporkannya secara lisan. Raja harus
mengetahuinya dengan mata kepala sendiri,
bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang
hidup sengsara. Ada saja praktek jual beli
budak.
Dengan tekad yang amat bulat Abu Nawas
merencanakan menjual Baginda Raja. Karena
menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang
paling patut untuk dijual. Bukankah selama ini
Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan
menyengsarakan pikirannya? Maka sudah
sepantasnyalah kalau sekarang giliran Abu
Nawas mengerjai Baginda Raja.
Abu Nawas menghadap dan berkata kepada
Baginda Raja Harun Al Rasyid. "Ada sesuatu
yang amat menarik yang akan hamba
sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia."
"Apa itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda
langsung tertarik.
"Sesuatu yang hamba yakin belum pemah
terlintas di dalam benak Paduka yang mulia."
kata Abu Nawas meyakinkan.
"Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk
menyaksikannya." kata Baginda Raja tanpa rasa
curiga sedikit pun.
"Tetapi Baginda..." kata Abu Nawas sengaja
tidak melanjutkan kalimatnya.
"Tetapi apa?" tanya Baginda tidak sabar.
"Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat
biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak
yang ikut menyaksikan benda ajaib itu." kata
Abu Nawas.
Karena begitu besar keingintahuan Baginda Raja,
maka beliau bersedia menyamar sebagai rakyat
biasa seperti yang diusulkan Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun
Al Rasyid berangkat menuju ke sebuah hutan.
Setibanya di hutan Abu Nawas mengajak
Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang
rindang dan memohon Baginda Raja menunggu
di situ. Sementara itu Abu Nawas menemui
seorang Badui yang pekerjaannya menjual
budak.
Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk
melihat calon budak yang akan dijual kepadanya
dari jarak yang agak jauh. Abu Nawas beralasan
bahwa sebenarnya calon budak itu adalah
teman dekatnya. Dari itu Abu Nawas tidak tega
menjualnya di depan mata. Setelah pedagang
budak itu memperhatikan dari kejauhan ia
merasa cocok. Abu Nawas pun membuatkan
surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang
budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri
orang yang sedang duduk di bawah pohon
rindang itu.
Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa
keping uang emas dari pedagang budak itu.
Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di
situ ketika pedagang budak menghampirinya. Ia
belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga
menampakkan batang hidungnya. Baginda juga
merasa heran mengapa ada orang lain di situ.
"Siapa engkau?" tanya Baginda Raja kepada
pedagang budak.
"Aku adalah tuanmu sekarang." kata pedagang
budak itu agak kasar. Tentu saja pedagang
budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun
Al Rasyid dalam pakaian yang amat sederhana.
"Apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Baginda
Raja dengan wajah merah padam.
"Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku
dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya."
kata pedagang budak dengan kasar.
"Abu Nawas menjual diriku kepadamu?" kata
Baginda makin murka.
"Ya!" bentak pedagang budak.
"Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?"
tanya Baginda geram.
"Tidak dan itu tidak perlu." kata pedagang
budak seenaknya. Lalu ia menyeret budak
barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al
Rasyid diberi parang dan diperintahkan untuk
membelah kayu. Begitu banyak tumpukan kayu
di belakang rumah badui itu sehingga
memandangnya saja Sultan Harun Al Rasyid
sudah merasa ngeri, apalagi harus
mengerjakannya.
"Ayo kerjakan!"
Sultan Harun Al Rasyid mencoba memegang
kayu dan mencoba membelahnya, namun si
Badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid
memegang parang merasa aneh.
"Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul
kau arahkan ke kayu, sungguh bodoh sekali!"
Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik
parang hingga bagian yang tajam terarah ke
kayu. Ia mencoba membelah namun tetap saja
pekerjaannya terasa aneh dan kaku bagi si
Badui.
"Oh, beginikah derita orang-orang miskin
mencari sesuap nasi, harus bekerja keras lebih
dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga."
gumam Sultan Harun Al Rasyid. Si Badui
menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan
pandangan heran dan lama-lama menjadi
marah. Ia merasa rugi barusan membeli budak
yang bodoh.
"Hai Badui! Cukup semua ini aku tak tahan."
"Kurang ajar kau budakku harus patuh
kepadaku!" kata Badui itu sembil memukul
baginda. Tentu saja raja yang tak pernah
disentuh orang itu menjerit keras saat dipukul
kayu.
"Hai Badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al
Rasyid." kata Baginda sambil menunjukkan
tanda kerajaannya.
Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal
Baginda Raja. Ia pun langsung menjatuhkan diri
sembil menyembah Baginda Raja. Baginda Raja
mengampuni pedagang budak itu karena ia
memang tidak tahu. Tetapi kepada Abu Nawas
Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin
rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu
Nawas seperti telur.

Sumber

Mahkota sorga

Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba
ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau
ingin menyaksikan kehidupan di luar istana
tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih
leluasa bergerak. Baginda mulai keluar istana
dengan pakaian yang amat sederhana layaknya
seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan
beliau melihat beberapa orang berkumpul.
Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang
ulama sedang menyampaikan kuliah tentang
alam barzah.
Tiba-tiba ada seorang yang datang dan
bergabung di situ. Ia bertanya kepada ulama itu.
"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu
waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami
tiada mendengar mereka berteriak dan tidak
pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang
katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana
cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai
dengan yang dilihat mata?"
Ulama itu berpikir sejenak kemudian Ia berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus
dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu
dengan orang yang sedang tidur? Dia
kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit
ular, diganggu dan sebagainya. Ia juga merasa
sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan
keringat bercucuran pada keningnya. Ia
merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak
tidur. Sedangkan engkau yang duduk di
dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah
tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat
serta dialaminya adalah dikelilingi ular-ular.
Maka jika masalah mimpi yang remeh saja
sudah tidak mampu mata lahir melihatnya,
mungkinkah engkau bisa melihat apa yang
terjadi di alam barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama
itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah
itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya
tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga
tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,
termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda
itu adalah mahkota yang amat luar biasa
indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-
barang di surga karena barang-barang itu
tercipta dari cahaya. Saking indahnya maka satu
mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya.
Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali
ke istana. Baginda sudah tidak sabar ingin
menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas
dipanggil:
"Aku menginginkan engkau sekarang juga
berangkat ke surga kemudian bawakan aku
sebuah mahkota surga yang katanya tercipta
dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu
Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas
langsung menyanggupi tugas yang mustahil
dilaksanakan itu.
"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu
sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya
agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti.
Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu. "Kiamat,
wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam
mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang
peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah
kematian. Dan pintu alam akhirat adalah
kiamat.
Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda
masih tetap menghendaki hamba mengambilkan
sebuah mahkota di surga, maka dunia harus
kiamat terlebih dahulu." Mendengar penjelasan
Abu Nawas Baginda Raja terdiam. Di sela-sela
kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu
Nawas bertanya lagi,
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari
surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau
diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu
Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah
tahu jawabnya.

Sumber

Selasa, 04 Februari 2014

Kisah Abu Nawas: Si Bahlul dan Singgasana Raja

ini ada kisah antara si bahlul {si bodoh}
dan singgasana raja , tersebutlah pada
zaman pemerintahan khalifah Harun Al-
rasyid {salah satu dongeng yg terkenal
negri 1001 malam dan abunawas {arabnya
imam abu nuwas} ada seorang yg lugu
sebut namanya si bahlul , suatu saat dia
mau menghadap sang khalifah harun al-
rasyid, syahdan singkat cerita dia berhasil
sampai dalam istana, namun di dalam
istana di temukannya kosong, lalu dia
berpikir ingin mencoba duduk di
singgasana sang raja, belum lama
berselang masuklah pengawal istana,
begitu di lihatnya si bahlul duduk di kursi
singgasana, maka marahlah para penjaga
istana ini dan mulailah si bahlul di pukuli
dan di tendang,
alhasil si bahlul meraung-raung kesakitan
di ikutin teriakan minta ampun, khalifah
Harun al-rasyidpun keluar dari dalam
kamarnya begitu mendengar teriakan
bahlul yg kesakitan, "lepaskan ..." perintah
sang khaisar, namun si bahlul tetap
meraung-raung meminta ampun, "hi
bahlul kamu sudah di lepaskan mengapa
kamu masih meraung-raung minta ampun
" hardik sang kaisar, " ampun paduka,
beribu ampun , adapun saya meraung-
raung kesakitan dan memohon ampun
adalah membayangkan betapa berat yg
akan di hadapi sang kaisar, lha wong saya
yang baru 5 menit duduk di kursi
singgasana saja sudah di pukuli
sedemikian hebatnya apalagi paduka yang
bertahun-tahun .....", pungkas si bahlul.
ruangan itu hening senyap, namun dari
relung kesadaran yg paling dalam semua
mulai di hinggapi pertanyaan dan
mengiyakan perkataan si bahlul bahwa
betapa beratnya memikul amanah
kepemimpinan ....

Sumber